19 Desember
Sidongayah - *** A: Anda muslim?
B: Ya.
A: Pernah makan babi?
B: Tidak dong. Menjijikkan. Hiiii....
A: Kalau korupsi?
B: Jujur, sedikit-sedikit ya pernah. Khususnya korupsi waktu hehehe...
****
Jika babi haram, korupsi lebih haram lagi karena ada hak orang lain yang diserobot pelaku. Tetapi, melihat realitas di Indonesia, ada fakta menarik. Kaum muslimin, kaya maupun miskin, jika diberi makan daging babi, mereka akan marah, merasa jijik, dan merasa dilecehkan sebagai seorang muslim.
Tetapi di sisi lain, kaum muslimin justru banyak yang menjadi pelaku korupsi, dan ironisnya mereka tidak merasa hina ketika melakukan tindakan biadab ini. Bahkan para koruptor ini melakukan tindakan "ajaib" menggunakan uang hasil korupsinya; berangkat haji (dan umroh), menyumbang panti asuhan, menjadi donatur resmi pembangunan masjid, dan tindakan "mulia" lain.
Mengapa dua fakta ini saling bertolak belakang? Indoktrinasi, inilah jawabannya. Kita semenjak kecil sudah diinjeksi doktrin bahwa "babi itu haram", dan proses indoktrinasi secara berulang-ulang disertai tindakan pencegahan dan keteladanan memiliki efek jangka panjang, yaitu doktrin ini menancap lekat di benak kita sebagai umat muslim. Diolah dengan bumbu apapun, dimasak dengan jenis masakan apapun, kita tetap jijik dan bergidik mulas tatkala mengetahui jika olahan masakan tersebut berupa daging babi.
Anehnya, di sisi lain, indoktrinasi di bidang antikorupsi belum berjalan dengan sistemik. Di beberapa perguruan tinggi, termasuk STAIN Jember, mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi juga menjadi salah satu modal pendidikan memberantas korupsi semenjak dini. Ke depannya, kita berharap bahwa pendidikan antikorupsi ini menjadi pilar yang mengokohkan semangat ‘bersih-bersih’ negara ini.
Memng benar, tema antikorupsi baru massif digelontorkan semenjak era reformasi, dan tindakan keras terhadap koruptor baru dilakukan semenjak KPK berdiri. Namun hal ini akan menjadi pepesan kosong manakala belum didukung sepenuhnya oleh elemen masyarakat, termasuk mahasiswa.
Dalam hal ini seharusnya jika Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi di perguruan tinggi hanya menjadi tangga kedua setelah tangga pertama, yaitu pendidikan anti korupsi di sekolah menengah atas. Dengan demikian, struktur pendidikan antikorupsi bisa dijalankan semenjak usia remaja, dan tentu saja dijalankan di ruang lingkup keluarga.
Belajar (dari) Antre
Dalam sebuah artikel, Harry Tjahjono (Kompas, 10 Desember 2013), menukil kisah tentang seorang guru yang mengatakan, sebagai guru ia tak terlalu cemas jika anak didiknya tak pandai matematika. Dia jauh lebih cemas jika mereka tak pandai mengantre. Ditanya kenapa, dengan penuh keyakinan dia menjawab cukup sekitar tiga bulan intensif untuk menguasai matematika. Untuk pandai mengantre dan mengingat pelajaran di balik proses mengantre, perlu setidaknya 12 tahun.
Selanjutnya dikatakan, kelak tidak semua anak didiknya memilih profesi yang berhubungan langsung dengan matematika kecuali keterampilan tambah, kali, kurang, dan bagi. Namun yang jelas, semua anak didiknya itu akan memerlukan etika dan moral (yang didapatkan dari pelajaran mengantre) sepanjang hidup mereka kelak. Lalu dengan tangkas guru itu menjelaskan sebagian nilai-nilai kehidupan berharga di balik keterampilan mengantre, yang akan saya adaptasi sesuai konteks tulisan ini.
Pertama, anak akan belajar manajemen waktu dengan baik, terencana, dan jika ingin mengantre paling depan, ia harus datang lebih awal. Kedua, anak belajar bersabar menunggu gilirannya tiba, terutama jika ia berada di antrean paling belakang. Ketiga, anak belajar menghormati hak orang lain (dan haknya sendiri), yang datang lebih awal dapat giliran lebih dulu. Keempat, anak belajar berdisiplin. Kelima, anak belajar kreatif memikirkan kegiatan apa saja yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan selama mengantre (di Jepang biasanya orang membaca buku saat mengantre). Keenam, anak belajar tabah menjalani proses dalam mencapai tujuannya.
Ketujuh, anak belajar hukum sebab-akibat, bahwa jika terlambat harus menerima konsekuensi di antrean belakang. Kedelapan, anak belajar keteraturan dalam hidup. Kesembilan, anak belajar memiliki rasa malu. Kesepuluh, anak belajar jujur pada diri sendiri dan orang lain.
Mewujud dalam perilaku Kesepuluh nilai itu memang berhubungan langsung dengan etika atau moral seorang anak. Sedangkan etika atau moral berhubungan dengan (hati) nurani. Dan sesungguhnya, jika nurani seseorang "mati" kemanusiaan orang itu juga mati. Saya mendadak tercerahkan bahwa budaya korupsi, setidaknya untuk jangka panjang, salah satunya bisa diberantas melalui pendidikan "keterampilan" mengantre sejak masa kanak-kanak. Budaya, secara praksis adalah values in action atau nilai-nilai yang mewujud dalam perilaku. Maka jika ingin memberantas korupsi, kita wajib menginternalisasikan nilai-nilai yang berkebalikan dengan nilai-nilai yang dianut para koruptor. Mari kita potret head to head pertempuran antarnilai ini.
Pertama, nilai perencanaan dan manajemen waktu adalah lawan telak dari nilai koruptor yang oportunis, aji mumpung, menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Para koruptor sangat bodoh dalam merencanakan pekerjaan dan kehidupan mereka, tak punya perencanaan kerja yang etis dan profesional di balik nafsu ingin kaya.
Kedua, nilai kesabaran menunggu giliran –lawan sempurna dari nilai hidup koruptor yang ingin kaya dengan cepat. Tak ada kesabaran yang mengendalikan dirinya, bahwa segala sesuatu ada waktunya dan selama penantian "giliran" harus diisi dengan kerja yang baik dan benar.
Ketiga, nilai tentang hak diri dan orang lain akan melumat nilai koruptor yang tak peduli tentang hak dan kewajiban. Koruptor tak mau tahu, semua yang dijarahnya bukan haknya. Jangankan hak orang lain, hak negarapun dia sikat. Dia tak pernah belajar bahwa yang menjadi haknya mesti sesuai kontribusi yang dia berikan dan kewajiban yang dia jalankan dengan baik, di luar itu sama sekali bukan haknya. Keempat, nilai kedisiplinan, lawan dari nilai hidup koruptor yang tidak pernah taat aturan dan seenak hatinya dalam menjalani pekerjaan dan kehidupan.
Kelima, nilai kreatif – menghancurkan nilai koruptor yang hanya "kreatif" dalam mencuri dan menjarah yang bukan haknya, namun bodoh soal berprestasi untuk hal yang positif sesuai kewajibannya. Nilai kreatif, bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan (termasuk kekayaan sekalipun) perlu kinerja yang istimewa dan kreativitas adalah salah satu syarat utama untuk berprestasi di balik uraian tugas dan kewajiban standar yang diberikan. Keenam, nilai ketabahan – merupakan lawan nilai hidup koruptor yang lembek, hedonis, rapuh, cepat menyerah.
Para koruptor bukanlah pejuang kehidupan sebab semua kesejahteraan hanya bisa dicapai melalui perjuangan hidup, dan semua perjuangan hidup memerlukan ketabahan. Jadi koruptor tak lebih dari pecundang kehidupan.
Ketujuh, nilai sebab-akibat atau konsekuensi kehidupan –berkebalikan dengan nilai koruptor yang tak pernah konsekuen dalam bekerja. Koruptor ingin melawan hukum alam atau hukum besi kehidupan bahwa yang bekerja baik dan cepat yang akan dapat sesuatu yang diinginkan. Koruptor ingin memutarbalikkan itu semua, tanpa kerja keras dan bersantai-santai, namun cepat kaya dan paling kaya.
Kedelapan, nilai keteraturan dalam kehidupan – menentang nilai kekacauan (chaos) yang dianut para koruptor. Para koruptor dengan sadar membuat kekacauan dalam sistem kerja, lingkungan kerja, dan kehidupan melalui perilaku korupsinya. Dan celakanya, dia tak peduli dengan itu semua. Koruptor adalah orang yang kacau hidup dan kerjanya.
Kesembilan, nilai tentang rasa malu – bertentangan habis dengan nilai koruptor yang tidak pernah menghargai martabat dirinya sebagai manusia, dan bermuara pada sifat tak punya malu. Lihatlah para koruptor yang masih cengengesan di berbagai tayangan televisi, bahkan sempat melambai-lambaikan tangan meski memakai baju tahanan. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tak punya rasa malu karena hilang martabat diri. Kesepuluh, nilai kejujuran – merupakan lawan sempurna dari nilai diri koruptor yang serba culas dan menipu siapapun, termasuk Tuhan dan diri sendiri.
Maka kesepuluh nilai di balik pelajaran mengantre itu layak dijadikan obat jangka panjang untuk memberantas budaya korupsi di negeri ini. Sesuai konteks tersebut, keterampilan mengantre perlu dilatih sejak dini. Untuk jangka pendek, kita bisa mengandalkan pemberantasan korupsi bersifat sistemik dan law enforcement. Namun jangka panjang, mutlak harus dimulai dengan pendidikan (internalisasi) nilai-nilai seperti dalam keterampilan mengantre sejak usia dini. Mengantre atau mati (nurani), itu saja pilihannya!
Hukum Yang Timpang
Benar jika ada anekdot, di China koruptor dihukum POTONG kepala, di Saudi dihukum POTONG tangan, adapun di indonesia koruptor dihukum POTONG masa tahanan. Ketidaktegasan dalam menghukum koruptor dan skala masa tahanan yang ringan serta tidak ada upaya pemiskinan koruptorlah yang membuat negara ini masih disesaki koruptor. Akhirnya tidak ada yang kapok. Baik koruptor maupun penerima, pelaku suap, gratifikasi, sebaiknya dihukum sesuai kejahatannya. Misalnya Andi Malahlarang yang terlibat korupsi di Hambalang. Hukuman paling pas disuruh jadi kuli bangunan, plus jadi tukang bangunan sekalian. Tugasnya? Kerja di situ, membangun Hambalang hingga sesuai konsep awal. Kalau Anas Urbanisasi terlibat, mereka berdua kerja bersama. Kompak dan harus selesai meski butuh 30 tahun.
Mafia gabah/beras? Ia dikurung di bonbin, saban hari harus makan gabah/beras! Harus mentah!
Korupsi daging sapi? Tiap hari makan daging sapi mentah dan minumnya harus langsung netek sapi!
Suap migas? Ia harus menyedot minyak mentah dari dalam bumi pakai mesin sedot wc. Gagal? Suruh saja mandi tiap hari pakai minyak mentah!
Korupsi pengadaan al-Qur'an? Suruh saja menjadi tukang pijat bagi guru TPQ seprovinsi!
Bui? Penjara? Lapas? apaan nih, koruptor ya pas di kamp konsentrasi kayak Auschwitz, Buchenwald, Burgen Belsen, atau Guantanamo itu! Usul: lokasi kamp konsentrasi di pulau Nusabarong!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar