03 Desember
Delapan
anak buah kapal (ABK) penangkapan ikan Taiwan, Kwojeng Ltd asal Kab.
Indramayu menuntut pemenuhan hak-hak mereka selama bekerja di perairan
Samudra Atlantik. Selain belum menerima gaji selama dua tahun bekerja,
mereka juga menuntut perlindungan sebagai korban perdagangan orang
(human trafficking).
Sidongayah - Delapan ABK asal INdramayu itu merupakan bagian dari 187 ABK yang sempat ditelantarkan di Port of Spain, Trinidad and Tobago. Sebanyak 158 di antaranya diberangkatkan melalui PT Karlwei Multi Global (Kartigo) yang beralamat di Jalan Jembar Selatan XII No. 8, Jakarta Barat dan 29 lainnya melalui PT Bahana Samudra Atlantik, beralamat di Jalan KApin No. 9, Bekasi.
Salah seorang ABK asal Desa Jayawinangun, Kecamatan Kedokanbunder, Wanto (23) menuturkan, dirinya dan ketujuh temannya diberangkatkan melalui PT Kartigo pada 2010 dan awal 2011 lalu dengan dijanjikan menerima gaji sekitar Rp Rp 2juta-Rp3 juta per bulan sesuai dengan kontrak yang ditandatangani. Namun, selama bekerja di kapal nelayan hingga Juli 2012, mereka belum menerima gaji tersebut. “Jangankan digaji, malah selama di kapal kami mendapatkan perlakuan kasar dari kapten kapal. Kami disuruh terus bekerja meski kondisi tubuh kami sudah lemah. Kami pun diberi makanan yang tidak layak,” tuturnya di Kantor Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Indramayu, Selasa (3/9/2013).
Selama bekerja di kapal, kata Wanto, para ABK hanya beristirahat 3-4 jam per hari, sementara kapal tersebut tidak pernah bersandar ke darat hingga setahun lebih. Jika tangkapan ikan sudah penuh, ada kapal pengumpul yang membawanya ke pelabuhan, sehingga para ABK kapal tidak memiliki kesempatan untuk pulang ke darat.
Sekitar Juli 2012, para ABK yang masing-masing menempati kapal berkapasitas 15 orang itu mendekat ke perairan dangkal di Trinidad and Tobago. Kapten kapal mengatakan bahwa perusahaan kapal tersebut bangkrut dan meminta para ABK untuk menunggu di kapal hingga mendapatkan kejelasan gaji. “Kapten kapal meninggalkan kami, dan kami tinggal di kapal itu selama lima bulan. Kami makan seadanya dan mengandalkan bantuan dari penduduk setempat,” ujarnya. Pada 31 Oktober 2012, Dubes RI di Caracas, Prianti Djatmiko Gagarin menemui dan mendata para ABK. Sebulan berikutnya, ratusan ABK dari berbagai daerah di Indonesia itu dipulangkan ke tanah air secara bertahap dari Port of Spain, Trinidad and Tobago.
Meski demikian, hingga kini sejumlah ABK tersebut masih menuntut hak-hak mereka selama bekerja di kapal tersebut. Upaya itu sudah mereka sampaikan ke BNP2TKI, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Luar Negeri, DPR RI, hingga Polri. “Dari sejumlah aksi yang kami lakukan, pimpinan perusahaan yang memberangkatkan kami dari PT KArtigo kini ditahan di Mabes Polri. Namun, setahun sejak kejadian itu, kami masih belum mendapatkan kejelasan soal hak-hak kami,” ujar Wanto.
Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan Dinsosnakertrans Kab. INdramayu, Adi Satria mengaku akan menyampaikan keluhan para ABK asal Indramayu kepada BNP2TKI dan berbagi instansi terkait di Jakarta untuk mengurus hak-hak mereka. Dia mendesak agar BNP2TKI bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak para ABK tersebut. “Sebab, BNP2TKI sudah memberikan para ABK Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) yang mengharuskan mereka mendapatkan asuransi. Namun, ternyata mereka tidak mendapatkan asuransi dan hak-hak lainnya,” ujar Adi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar